Berdasarkan data dari CNBC, WhatsApp telah menjadi salah satu channel komunikasi paling penting di Indonesia, dengan jumlah 112 juta pengguna. Wajar saja, di segala aspek kehidupan kita, mulai dari grup keluarga, komunikasi antar teman, hingga bisnis sudah mulai beralih ke WhatsApp. Itu kenapa sebagai marketer, kita harus mencari strategi WhatsApp yang bisa membantu performa marketing bisnis kita.
Setelah interview bagian pertama yang membahas mengenai strategi WhatsApp untuk pemula, kali ini kita akan membahas mengenai berbagai contoh kasus perusahaan yang berhasil menerapkan strategi WhatsApp for Business. Kita akan fokus pada perusahaan B2C, dengan narasumber Rizqi Isnurhadi, Marketing Manager Sleekflow untuk market Indonesia, dan dipandu oleh Adhika Dwi Pramudita, Managing Director Penulis.ID sebagai moderator.
Ada contoh case study bisnis yang berhasil memanfaatkan WhatsApp for Business dengan baik mas Rizqi?
Salah satu kegunaan WhatsApp adalah kita bisa tahu cycle purchasenya seperti apa. Salah satu klien yang bisa kita ceritakan itu dia bisnisnya perawatan kulit wajah. Dia sudah tahu cycle purchasenya. Kalo customer dia sudah daftar, dapat perawatan, biasanya dua minggu lagi datang lagi. Di situ dia bisa bikin reminder. Kalau customer tadi sudah dua minggu belum datang, bisa dikirimkan reminder. Atau misal orang beli baju. Misal kita ada data cycle orang beli baju itu tiap tiga atau enam bulan sekali. Kita bisa kirim reminder, misal kita infokan kita ada collection baru yang mungkin menarik.
Sekali lagi, kegunaan utama WhatsApp ini kita bisa capture data, lalu mengirimkan pesan yang personalize, itu yang paling penting. Pesan yang relevan bagi tiap customer sehingga tidak termasuk spam.
Wah menarik sekali, berarti WhatsApp for business ini aslinya bisa nyambung ke CRM-nya, jadi kita bisa follow-up customer enggak ngasal, tapi berdasarkan data tadi.
Iya seperti itu.
Menurut aku case study perawatan kulit ini menarik, selain untuk reminder, mereka juga bisa menumbuhkan care untuk sisi pelanggan. Boleh tidak diceritakan lebih mendalam cara perusahaan ini menumbuhkan customernya, lalu membuat customernya terus repeat order?
Sebenarnya untuk klien perawatan kulit ini, mereka memang menggunakan WhatsApp lumayan end-to-end. Dari pertama chat, mereka sudah ngeset automation untuk capture data customer dia sedang mencari apa. Ini cocok untuk bisnis mereka yang punya beberapa servis, misal konsultasi, perawatan, dan jual skin care. Tiga proses ini kan sebenarnya nyambung, karena customer akan konsultasi dulu, lalu perawatan, baru mungkin akan beli skin care.
Nah strategi WhatsApp automation ini diset dari awal, mereka pilih ingin konsultasi dulu atau langsung perawatan. Datanya kita capture. Misal customer pilih langsung perawatan, nanti akan diarahkan untuk reservasi perawatannya. Atau ingin konsultasi, dia akan dimasukkan segmen konsultasi. Dari sini mereka sudah bisa menggunakan datanya. Misal ada orang yang konsultasi saja tapi tanpa perawatan, ini bisa kita personalisasi message-nya. Ada yang dari perawatan belum tertarik beli skin care, datanya dicapture juga. Jadi untuk semua tipe customer, mereka selalu bisa mengirimkan pesan yang personalisasi berdasarkan stage dari semua servis mereka.
Strategi berikutnya bisa menggunakan reminder tadi. Jadi yang sudah perawatan bisa automate message tiap dua minggu setelah mereka selesai perawatan. Ada elemen care yang bisa dimasukkan dalam pesan ini.
Strategi ketiga, mereka bisa mengirimkan promosi juga. Promosi ini dikirimkan di hari-hari besar dan hari libur. Mereka bisa segmentasikan lagi sebelum mengirim pesan. Misal orang yang sudah perawatan dua kali misal, bisa disarankan perawatan yang berbeda dengan orang yang sudah perawatan lima kali. Misal untuk segmen orang yang sudah perawatan lima kali, untuk special holiday discount bisa diberikan diskon yang lebih besar, untuk semakin meningkatkan loyalty. Strategi ini bisa dilakukan kalau kita sudah punya data di balik layar. Jadi ketika blasting message, semua sudah tersegmentasi dengan baik.
Mantap sekali, berarti end-to-end dari pertama sampai bisa juga dibuat loyalty program
Betul, bisa dibuat seperti itu.
Saya cek pricing Sleekflow sendiri kan tidak terlalu mahal. Berarti aslinya tidak harus perusahaan besar baru bisa. Perusahaan skala lebih kecil dan menengah seharusnya bisa afford. Ada tidak ya case study perusahaan yang lebih kecil daripada perusahaan perawatan kulit tadi dan tetap bisa memanfaatkan WhatsApp?
Sleekflow sendiri melayani mulai dari yang kecil sampai gede banget. Kecil di sini bukan bisnis mikro juga, tapi minimal yang running bisnisnya lebih dari satu orang, misal ada owner dan dua admin. Bisnis yang memproses lebih dari 50 message per harinya. Nah itu sudah mulai cocok.
Ada case study menarik, kita ada klien yang jualannya fashion. Mereka jualan produk-produk baju, tas, fashion for woman. Skala bisnisnya tidak besar, followernya sekitar 20 ribu di Instagram, dan punya tiga admin dan satu owner. Untuk mereka sendiri, pakai strategi WhatsApp seperti apa?
Cara mereka menggunakan WhatsApp sangat menarik. Bisnis mereka itu tipenya bisnis yang jualannya ke orang itu-itu lagi. Mereka jualan produk yang cukup niche, jualannya tidak banyak tapi laku. Mereka ternyata membuat loyalty program yang sangat personalize. Mereka menggunakan sistem “VIP”. Ketika mereka jualan collection mereka di website dan Instagram, kadang ada exclusive product launching yang limited edition. Atau koleksi yang pas launching dia hanya keluarkan sedikit, meskipun nanti endingnya dia bikin banyak.
Nah, mereka jual produk khusus ini tidak di website atau instagram secara langsung. Mereka mengutamakan VIP customer mereka. Di sini mereka menggunakan data CRM tadi. Untuk masuk ke VIP customer ini, hanya orang tertentu yang bisa masuk. Misalnya hanya orang yang sudah beli minimal 3 kali dalam setahun terakhir yang bisa masuk list VIP. Ketika mereka sudah punya list VIP, mereka pakai WhatsApp untuk mengirim katalog produk khusus VIP yang password protect. Jadi hanya VIP yang bisa akses page dan belanja, dimana customer lain tidak bisa.
Akhirnya customer lain FOMO (fear of missing out) kan, mereka penasaran bagaimana cara masuk VIP ini. Customer ini mereka berusaha belanja lebih banyak agar bisa masuk daftar VIP. Menarik kan, bagaimana bisnis yang skalanya tidak terlalu besar, tapi mereka bisa punya strategi VIP sekuat itu untuk meningkatkan repeat purchase. Case study ini menarik untuk teman-teman yang skala bisnisnya kecil menuju menengah.
Mulai dari point contact, maintain, loyalty program berarti bisa pakai strategi WhatsApp. Mari kita bahas ngebangun loyalty program dengan WhatsApp. Ada tidak ya tantangan yang akan kita hadapi seandainya kita mau ngebangun loyalty program serupa ke bisnis kita?
Proses mengumpulkan data biasanya jadi tantangan bagi bisnis. Apalagi bisnisnya tidak hanya satu touch point, misal dia ada Instagram, website, dan offline. Jadi mengumpulkan data dan mengelolanya jadi tantangan besar bagi pebisnis.
Tantangan pengumpulan data yang utama adalah apakah customer mau memasukkan datanya? Kalau online, mengumpulkan data ini kan perlu customer sendiri yang memberi tahu keinginan dan preferensi mereka ke kita. Lalu bagaimana caranya untuk menghadapi ini?
Sebenarnya kembali ke cara-cara kreatif agar bisa mengumpulkan data customer. Minimal banget kita harus punya nama dan nomor telepon, karena itu core untuk WhatsApp. Data lain bisa dilengkapi belakangan. Kalau dia kontak via digital, biasanya nama dan nomor telepon sudah ada. Yang jadi tantangan kalau dia offline. Untuk touchpoint channel offline, harus pakai cara kreatif untuk bisa mendapatkan data tadi.
Misal case yang menarik ini di bisnis kafe. Dia menawarkan tambahan roti kalau kita memasukkan nomor telepon dan nama. Ada juga yang buat offline store-nya membuat QR code, dimana mengarah ke whatsapp dan ada trackingnya. Showroom furnitur misalnya. Ada bed yang kita suka, ada QR code yang bisa discan yang mengarah ke WhatsApp. Kalau kita sudah kontak via WhatsApp, itu otomatis nama, nomor hp, dan QR code produk apa yang kita scan sudah kita dapatkan datanya. Jadi kita harus kreatif untuk bisa transisi antara offline ke online.
Di channel digital, ada strategi agar kita bisa mengumpulkan informasi tersebut. Kalau kita bicara soal ads, biasanya CTA-nya (call-to-action) orang arahkan ke website. Kalau kita sudah punya WhatsApp dan CRM, sebenarnya rugi kalau strateginya seperti itu. Biayanya sama, click-through-rate nya kurang lebih sama, tapi kalau diarahkan ke website kita tidak dapat datanya. Kalau kita arahkan ke WhatsApp, saat dia klik ads-nya dan ngechat, kita secara otomatis dapat nama dan nomor telepon customer itu. Ini optimisasi data yang bagus untuk support strategi WhatsApp kita.
Terakhir, dari website, biasanya orang-orang sudah punya live chat. Terkadang live chatnya tidak terintegrasi dengan WhatsApp. Jadinya datanya tidak tertangkap di backend. Kita ganti dengan WhatsApp button agar dapat datanya. Jadi pengumpulan data ini bisa diganti dengan cara-cara kreatif di satu tempat melalui WhatsApp, minimal dapat nama dan nomor telepon.
Baru berikutnya kita berpikir data-data selanjutnya, agar bisa menerapkan strategi WhatsApp personalisasi, yang tentunya tidak cukup hanya dengan data nama dan nomor telepon. Di sini kita pakai button. Kalau kita ngobrol dengan bisnis, lalu tidak ada button, kita harus mengetik. Misal ditanya tertarik jasa apa, nah orang ngetiknya bisa beda-beda penyebutannya, atau spellingnya beda. Jadi datanya kotor.
Kalau kita ganti dengan WhatsApp button, ini lebih mudah buat customer karena dia tidak perlu mengetik tinggal klik, di kita pun kita bisa langsung dapat datanya. Kalau ada pertanyaan lanjutan, customer tinggal klik lagi, kita pun langsung capture datanya. Ini berguna sekali di awal kita sebut sebagai pre-qualification.
Jadi setelah kita tahu nama, nomor telepon, dan pre-qualification, datanya ini bisa kita pakai untuk menerapkan strategi personalisasi. Di akhir nanti, kita juga bisa menerapkan survey dan feedback untuk bisnis kita kalau diperlukan. Misal minta rating dan feedback dan datanya kita kumpulkan lagi.
Kesimpulannya, tantangan terbesar ya sudah tentu mengumpulkan data customer. Solusinya apa? Ya harus kreatif dan user-centric, kita harus mempermudah customer memberikan informasi, jangan dipersulit.
—————–
Itulah tadi beberapa case study dan strategi WhatsApp yang menarik untuk bisnis B2C. Pengumpulan data menjadi tantangan sekaligus kunci yang harus kita miliki untuk bisa mengeksekusi marketing WhatsApp dengan baik. WhatsApp bisa kita gunakan sebagai touchpoint pertama, reminder pelanggan, hingga membangun loyalty program yang bisa meningkatkan penjualan jangka panjang.
Pada interview bagian selanjutnya, kita akan membahas mengenai case study dan strategi yang lebih cocok untuk bisnis B2B. Karena pada dasarnya strategi WhatsApp bisa digunakan untuk berbagai jenis bisnis.
Part 1: Strategi Dasar Marketing Dengan WhatsApp
Part 2: Strategi Whatsapp dan Contoh Kasus di Perusahaan B2C