Banyak sekali strategi demand gen yang masih jarang kita gunakan. Salah satunya adalah memaksimalkan penggunaan PR atau public relation untuk creating demand. Dengan meningkatkan brand awareness dan kepercayaan konsumen melalui PR, kita bisa mempermudah tugas tim marketing untuk creating demand.
Dalam diskusi yang terbagi menjadi tiga bagian, Adhika Dwi Pramudita (Managing Director Penulis.ID, salah satu content agency terbesar di Jakarta) berdiskusi dengan Harumi Supit, strategic communications consultant. Harumi juga pernah menjadi Head of Corporate Communications di OVO. Apabila bagian pertama membahas mengenai strategi dasar creating demand menggunakan PR, maka bagian kedua ini kita akan membahas secara spesifik strategi demand gen dengan PR untuk perusahaan B2B. Simak diskusinya berikut!
(Adhika) Kalau untuk B2B, strategi PR harus kita targetkan seperti apa?
(Harumi) Saya melihat bahwa challenge utamanya membangun kredibilitas di bidang itu. Supaya orang lihat kita ini percaya. Karena orang-orang kalau B2B, di saat orang melakukan pembelanjaan dia pasti cari kualitas yang lumayan, kalau unggul lebih bagus lagi, tapi minimal lumayan dengan harga yang bersaing. Biasanya tidak perlu brand yang paling bagus kecuali di beberapa situasi tertentu saja kita tetap lihat merek. Misal laptop ini murah banget, tapi aduh saya maunya Apple saja deh karena studio kreatif saya percaya sama Apple.
Tapi kenapa kita percaya sama Apple? Sebenarnya secara software kan kalau kita lihat laptop/pc lain juga bisa loh asal orangnya terlatih kan. Tapi di luar software itu kan memang komunitas kreatif sudah bertahun-tahun menceritakan hebatnya Apple, asosiasinya sama komunitas kreatif itu bisa sangat-sangat tinggi dan itu hasil dari yang marketing dan PR. Jadi thought leadership ya istilah kerennya.
Contoh lain, bayangin kita ke bengkel terus ada montir kita yang terpercaya ngomong, wah bu/pak kalau beli ban nih ada ban baru keren banget dari Nigeria. Ketika kita percaya sama ini orang, wah dia jadi influencer kita kan dan itu third-party lagi yang bicara. Di situ contoh gabungan PR sama marketing.
Ada strategi khusus untuk mentrigger mereka sebagai brand advocate untuk kita?
Gampang-gampang susah ya. Kalau dibayar di belakang layar ya sudah selesai gitu saja kan tinggal cari siapa yang tepat untuk bicara, kita kasih amplop. Tapi, kalau perusahaan baru mulai atau bisnis kecil kita tidak punya budget seperti itu, bagaimana caranya?
Pertama kita cari customer yang benar-benar suka dengan produk kita. Mungkin orang yang sudah beli terus beli lagi. Kita bisa tanya eh Pak/Bu/Mbak kenapa beli lagi ya? Setidaknya kita bisa screen capture ya. Screencap masukin di Instagram, kita sudah dapat testimonial kan. Atau bisa minta orang itu eh boleh tidak rekam IG Story 30 detik nanti kalau orangnya baik hati bersedia, kita unggah di IG. Atau kita bisa kasih diskon apa atau ada juga yang kasih voucher, OVO cash, atau kompensasi sederhana lain.
Bisa juga kalau misalnya ada sponsorship untuk lomba. ya orang-orang diminta tolong juga bercerita tentang produk atau layanan kita kalau itu relevan dengan temanya. Jadi banyak cara sih, cuma memang harus cari orang yang antusias dan harapannya dia tidak kaku di depan kamera. Ada juga kan yang sebenarnya dia senang sama produk kita cuma somehow dia kaku banget.
Berarti salah satu kuncinya kan membuat yang autentik. Apakah ada tips untuk perusahaan ini bisa mencari brand advocate untuk creating demand?
Pastinya harus berangkat dari apa yang kita punya. Jadi kita lihat dari apa yang kita ciptakan itu apa sih yang menarik, apakah itu dari keunggulan produk, atau misalnya foundernya, atau karyawannya. Misalnya ada dua warung yang sama-sama jualan rempeyek, tapi saya sudah tahu yang satu ini tuh mempekerjakan ibu-ibu yang sudah di-PHK atau misal mereka tulang punggung keluarga karena semuanya sudah single mom, ya mungkin saya condong ke sana ya padahal mungkin rempeyeknya tidak seenak yang itu. Saya sudah tahu ada awareness, bahwa dari segi employee-nya itu dari karyawannya mereka itu memberikan sesuatu yang lebih dan itu cerita yang autentik.
Sebenarnya banyak sekali produk yang mungkin keunggulannya hanya satu, misal lebih murah atau tampilannya lebih keren. Jadi ya pintar-pintarnya melihat apa yang kita sudah punya. Kita juga bisa bertanya ke orang-orang di sekitar kita atau customer kita apa sih yang mereka suka dari produk kita, kadang bisa beda dengan yang kita pikirkan. Saya pikir mungkin suami suka saya karena saya cantik terus dia bilang enggak sih karena kamu sabar saja.
Apa ada strategi PR lagi untuk B2B dengan budget terbatas?
Seandainya produknya itu sudah terpasang atau digunakan, bisa minta izin sama klien untuk menyebutkan bahwa brand kita sudah dipakai. Kita bisa lihatkan, misalnya produk kita sudah dibeli sama Danamon, BMW, atau Nestle. Ini hanya dapat dilakukan apakah apabila itu benar ya, kita tidak boleh mengada-ada.
Kita juga bisa membahas spesifikasi dan kegunaannya. Kadang-kadang orang awam seperti saya dulu pernah riset mesin begitu untuk salah satu bisnis yang akhirnya tidak jadi dikerjakan. Bisa saja ada orang-orang yang tidak mengerti apa sih yang ditawarkan apakah apa sih manfaatnya, nah itu sebaiknya kita jelaskan dengan baik.
Apa ada contoh satu case yang berhasil creating demand dengan PR?
Contohnya untuk B2B, jadi dulu kita ada bantu satu case perusahaan baru tidak dikenal. Jadi dengan beberapa channel itu kita terbitkan konten di media dan juga ikut beberapa pameran itu juga semua dimuat di website sehingga SEO-nya semakin jalan dan di konten-konten yang kita naikin itu kita pastikan bahwa manfaatnya sangat jelas dari apa yang kita tawarkan. Sengaja kita hindari jargon, fokus dengan cara industri menjelaskan fitur.
Tapi seperti headline kita upayakan bahwa apa yang kita berikan itu dapat dipahami semua orang. Bisa saja nanti CTO-nya orang teknis atau tim teknis yang akan mengambil keputusan, tapi bisa jadi CEO-nya yang bukan orang teknis yang melihat headline kita terus merasa ini menarik, disodorin ke tim teknisnya. Ini kan kita bicara bisnis, jadi ya sudah manfaatnya apa sih, either bisa naikin revenue atau mengurangi cost atau mengurangi resiko, kira-kira cuma tiga itu. Dari sana ada berapa orang yang akhirnya inquiry. Mereka juga lihat sudah naik di media, messaging-nya konsisten, datang ke pameran, dan membangun portfolio misal salah satu klien dia ABC. Jadinya bisa lebih ada trust.
Kalau kita bicara content, untuk B2B, bagaimana cara menerapkan thought leadership dalam content marketing?
Untuk melakukan thought leadership itu menurut saya pertama kontennya harus berbobot. The deeper and more unique it is semakin bagus kontennya, semakin dipandang orang. Kedua supaya dipandang orang kontennya sudah bagus kita harus taruh di mana nih channel-channel apa. Kalau yang disasar itu misalnya audiencenya luar negeri jangan taruh di Detik. Kalau kita nyasarnya komunitas daerah mungkin kita harus cari kesana apa radio, beriklan di surat kabar lokal, atau apa.
Ketiga, apabila memungkinkan kita gandeng third-party yang kredibel contohnya mau bikin white paper atau even blog content. Misalnya kalau ingin bahas trend-trend SDM di Indonesia, mungkin sebaiknya saya gandeng perusahaan konsultasi seperti Mercer atau Glints yang terkenal bergerak di bidang itu jadi konten saya juga bisa terlihat lebih kredibel.
Nah mungkin tiga itu sih. Definitely thought leadership dalam content marketing itu bagus banget. Tidak mudah dicapai karena again content-nya harus berbobot. Tapi kalau bisa buat itu helpful, mereka akan kembali lagi ke kita.
—————————-
Tentu saja strategi demand gen untuk B2B berbeda dengan bisnis B2C. Pada konten berikutnya, Adhika dan Harumi akan membahas contoh kasus penggunaan PR sebagai strategi demand gen untuk bisnis B2C.
Part 1: Strategi Dasar Creating Demand Dengan PR
Part 2: Strategi Creating Demand Dengan PR Untuk B2B
Part 3: Strategi Creating Demand Dengan PR Untuk B2C