Seiring perkembangan zaman, metode pemasaran pun turut berkembang. Jika dahulu iklan benar-benar ditampilkan sebagai cara promosi yang gamblang, kini sudah terdapat berbagai macam bentuk iklan dengan penyampaian lebih samar. Inilah yang kemudian disebut sebagai native advertising.

Lebih jelasnya, native advertising adalah bentuk iklan yang tidak mengganggu pengguna. Meski iklan satu ini sudah didesain sedemikian rupa agar tidak menonjol dan tetap diperhatikan banyak orang, banyak juga contoh native ads yang akhirnya gagal. Lantas, apa penyebab gagalnya native ads dan bagaimana trik agar sukses saat menjalankannya?

native advertising
Photo Credit by Rawpixel

Apa Itu Native Advertising?

Sebelum mengetahui penyebabnya, pahami dahulu jika native advertising adalah bentuk iklan online yang merupakan penyempurnaan dari iklan berbentuk banner. Pasalnya, iklan satu ini disesuaikan dengan media tempat pemasangannya, mulai dari jenis font hingga formatnya (foto maupun video).

Bahkan, tidak jarang orang akan melihat native ads ini sebagai konten reguler. Salah satu contoh iklan yang mungkin kerap Anda temui adalah yang muncul pada hasil pencarian teratas Google. Meski dikemas agar terlihat seperti konten biasa, pada umumnya konten bersponsor tersebut dilabeli dengan “Ads” atau “Sponsored”.

Native advertising biasanya juga menjadi pilihan sebagian besar marketer. Bahkan, 90% penerbit sudah memiliki atau sedang merencanakan peluncuran native ads ini. Alasannya tak lain karena sebagian besar orang belum mengetahui atau tidak menyadari keberadaan iklan ini. Sehingga, iklan bisa disampaikan secara efektif tanpa perlu mengurangi pengalaman pengguna saat berselancar di internet.

Jenis-Jenis Native Advertising

Native advertising adalah metode periklanan yang sudah dikembangkan dalam berbagai bentuk, mengikuti tempat peletakannya. Berikut lima di antaranya yang wajib Anda ketahui.

  1. Search Engine Marketing (SEM)

Contoh native ads yang pertama adalah Search Engine Marketing (SEM), yakni iklan yang muncul sebagai hasil pencarian teratas di Google. Seperti yang sudah disebutkan di atas, perbedaan iklan ini dengan konten biasa hanya terdapat pada label kuning bertuliskan “Ads” atau “Sponsored”. SEM sebagai jenis native ads tertua juga memudahkan pemilik bisnis untuk menemukan target market baru yang sedang mencari produk mereka.

  1. Promoted Listings

Kemudian, ada promoted listings yang sering muncul di e-commerce. Biasanya, jenis iklan satu ini ditampilkan sesuai kategori pencarian. Misalnya, saat Anda mencari produk kecantikan, muncul beberapa produk kecantikan bersponsor. Itulah yang disebut sebagai promoted listings. Tujuan pemasangan iklan ini antara lain untuk membuat produk supaya lebih dikenal oleh pengguna e-commerce.

  1. In-Feed Ads

Jenis native ads berikutnya yang punya dampak 10 kali lebih besar dibandingkan iklan banner adalah in-feed ads. Saat scroll-scroll media sosial, tentu Anda pernah menemukan konten iklan yang menyerupai posting-an biasa. Itulah yang disebut sebagai in-feed ads. Biasanya, setelah diklik, iklan ini akan mengarahkan Anda ke halaman pemasang iklan.

  1. Konten Rekomendasi

Tidak jauh berbeda dengan in-feed ads, konten rekomendasi biasanya juga akan membawa Anda ke laman pemasang iklan. Namun, native ads satu ini umumnya akan tampil di website sebagai konten rekomendasi. Tempatnya pun beragam, ada yang di samping maupun bawah konten utama.

  1. Artikel Organik

Salah satu jenis native advertising satu ini ternyata telah dimulai sejak awal dan pertengahan abad ke-20 ketika penerbit menempatkan iklan sebagai artikel biasa. Iklan semacam ini juga masih menjadi pilihan hingga saat ini. Pasalnya, native ads ini mampu menghasilkan audiens lebih banyak karena mengandung unsur entertainment hingga edukasi yang dibutuhkan oleh pengguna.

Apakah Native Advertising Bisa Gagal?

Meski sudah dikembangkan dalam berbagai bentuk, tidak jarang native ads menuai kegagalan. Hal ini bahkan dialami oleh brand-brand yang memasang iklan di majalah dan koran ternama, Forbes dan The New York Times.

Kegagalan itu dibuktikan berdasarkan angka pengguna yang bertahan untuk membaca konten tersebut. Pada konten reguler, 2/3 pembaca berhasil bertahan lebih dari 15 detik, sedangkan hanya ada 1/3 pembaca yang membaca lebih dari 15 detik pada konten berbayar.

Bukti lainnya adalah terdapat 71% pembaca yang membaca konten reguler sampai habis, sementara konten berbayar hanya dilihat oleh 24% orang. Bahkan, dari 24% orang yang melihat, hanya 1/3 di antaranya yang berhasil menyelesaikannya.

Tips Menjalankan Native Advertising agar Berhasil

Salah satu alasan mengapa native ads bisa gagal adalah karena target market Anda berbeda dengan target market tempat Anda memasang iklan tersebut. Semisal Anda adalah pemilik bisnis produk kecantikan. Memasang native ads di e-paper yang sebagian besar membahas politik dan ekonomi mungkin malah akan terkesan mengganggu.

Maka dari itu, pilihlah tempat memasang iklan yang memiliki selera pasar sesuai dengan brand Anda. Selain itu, sajikan pula konten-konten berkualitas yang tidak hanya menghibur, tapi juga memberikan edukasi tambahan terhadap pembaca. Dengan begitu, kemungkinan mereka akan meneruskan pencarian ke laman utama Anda, bahkan melakukan pembelian produk.

Untuk memperoleh kesadaran-kesadaran tersebut, tentunya Anda perlu membentuk tim khusus yang tugasnya berfokus di sana. Jika belum mampu untuk membentuk tim dengan SDM yang baru, biasanya sebuah perusahaan akan menggunakan bantuan jasa dari marketing agency seperti Penulis.ID. Jadi, Anda bisa meminta pembuatan artikel berbayar yang ditempatkan di website-website lain untuk mempromosikan brand Anda. 

Contoh Native Ads yang Baik dan Buruk

Satu contoh iklan yang menarik dan cukup berhasil datang dari majalah Forbes yang berkolaborasi dengan institusi keuangan, Fidelity Investments. Dalam artikel berbayar tersebut, Forbes menguraikan pro dan kontra mengenai pembelian barang dalam sekali bayar atau kredit bagi para pensiunan.

Alasan mengapa itu disebut sebagai native ads yang baik adalah karena artikelnya benar-benar mengungkap hal sebenarnya daripada menjelaskan produk-produk investasi yang ditawarkan oleh Fidelity Investments. Sehingga, pembaca dapat memperoleh jawaban, pesan, atau ilham tertentu setelah membaca artikel tersebut.

Sementara itu, The New York Times justru menghasilkan native ads yang buruk saat berkolaborasi dengan brand teknologi, Dell. Lewat artikel yang berjudul, “Will Millennials Ever Completely Shun the Office?”, The New York Times telah salah mengira sebagian besar pembaca milenial.

Faktanya, sebagian besar milenial yang baru lulus kuliah justru tidak akan menghindari bekerja dari kantor, sebab mereka sedang mati-matian mencari kerja. Di samping itu, bila mereka pada akhirnya menghindari kantor dan memilih perangkat teknologi Dell sebagai alat berkomunikasi, rasanya ini bukan konten yang tepat untuk disajikan di The New York Times. Lagipula, di mana letak edukasi dalam konten ini?Pada akhirnya, perkembangan zaman tidak hanya memacu marketer untuk menghasilkan lebih banyak jenis dan contoh native ads, tapi juga menghasilkan pengguna internet yang lebih kritis. Saat konten berbayar tidak dibarengi dengan unsur hiburan serta edukasi yang sesuai dengan target market pemasang iklan maupun penampilnya, maka itu tidak bisa dikatakan sebagai contoh native ads yang baik dan berhasil.

Writer Profile
Share This
Comment