Oberlo mencatat bahwa di mana pun seorang konsumen melakukan pembelian suatu produk, 63% di antaranya dimulai secara online. Artinya, setiap brand seharusnya memiliki online presence untuk memudahkan konsumen mengetahui produk Anda. Online presence yang dimaksud bisa berupa media sosial, hingga yang akan kita bahas kali ini, website. 

Website bisa dimanfaatkan sebagai landing page, serta sumber informasi mengenai sebuah produk bagi konsumen. Untuk mengetahui keefektifan sebuah website dalam mengkonversi konsumen, diperlukan testing website dengan metode A/B testing. Apa itu A/B testing?

Nah, selain mencari tahu apa itu A/B testing, artikel ini juga membahas mengenai cara melaksanakan metode testing website tersebut, serta apakah Anda perlu melakukannya untuk bisnis Anda. Yuk, simak artikel ini sampai habis!

AB Testing
Image Credit by Pch.vector

Apa itu A/B Testing?

Turut dikenal sebagai split testing, A/B testing adalah sebuah eksperimen yang dilakukan untuk mengetes beberapa versi dari sebuah website. Perbedaan dari tiap versi tersebut bisa berupa elemen kecil seperti copy, gambar, atau letak tombol CTA, hingga keseluruhan layout dari web page tersebut. 

Tujuan dari dilakukannya testing website ini adalah untuk mengetahui mana versi yang membawa hasil terbaik berdasarkan data yang dikumpulkan. Data tersebut bisa berupa analisis perilaku pengunjung selama berada di website, lama pengunjung berada di suatu halaman, hingga tingkat conversion rate.

Pada A/B testing, A merujuk pada website beserta komponennya yang menjadi variabel kontrol. Kemudian, B merujuk pada variasi dari variabel A, atau variabel yang sepenuhnya berbeda dari variabel A. Nantinya, variabel yang berhasil meningkatkan metrik bisnis pilihan akan diaplikasikan secara permanen. 

Nah untuk melaksanakan A/B testing secara optimal, ada beberapa langkah yang harus dilakukan. Apa saja langkah pelaksanaan A/B testing untuk website?

Langkah Melakukan A/B Testing untuk Website

Setelah mengetahui apa itu A/B testing, berikutnya Anda harus mengetahui tahap dari testing tersebut. Tahap melakukan strategi optimasi website ini bisa dibagi menjadi lima, yaitu riset, merumuskan hipotesis, membuat varian, testing, serta menganalisis hasil. Berikut adalah rangkuman mengenai kelima tahap tersebut.

  1. Riset

Pertama, Anda harus mengetahui performa website secara mendalam. Beberapa hal yang harus diketahui adalah mana halaman yang paling sering dikunjungi, halaman dengan tingkat bounce rate yang tinggi, hingga perilaku pengunjung website Anda. Untuk melakukan riset ini, Anda bisa memanfaatkan berbagai tools seperti Google Analytics, Omniture, atau Heatmap untuk menganalisis perilaku pengunjung.

Selain itu, hal penting lainnya yang perlu dirumuskan pada tahap ini adalah menentukan goals berdasarkan parameter yang ingin dicapai. Goals ini nantinya akan menuntun Anda hingga tahap terakhir testing website ini.

Sebagai contoh, anggap saja Anda menemukan bahwa banyak pengunjung yang langsung menghentikan journey mereka setelah dihadapkan pada pengisian formulir untuk mengunduh e-book yang Anda publikasikan. Kemudian, Anda menetapkan bahwa goals yang ingin dicapai adalah meningkatkan jumlah pengunjung yang mengisi formulir untuk dijadikan leads yang berkualitas.

  1. Merumuskan hipotesis

Dengan data yang telah dikumpulkan melalui tahap riset, Anda bisa menganalisis data tersebut untuk menciptakan suatu hipotesis mengapa hal tersebut terjadi. Hipotesis ini harus benar-benar dirumuskan berdasarkan data untuk menghindari adanya perubahan komponen website yang tidak diperlukan.

Misalnya kembali pada contoh kasus formulir tadi. Anda berhipotesis bahwa alasan mengapa pengunjung keluar dari halaman tersebut adalah karena banyaknya kolom formulir yang harus diisi.

  1. Membuat variasi

Setelah merumuskan hipotesis, hal berikutnya yang perlu dilakukan adalah membuat variasi. Bentuk variasi ini bisa berupa perubahan kecil elemen halaman, hingga perubahan layout besar-besaran–tergantung dari hipotesis dan goals Anda.

Untuk contoh formulir tadi, Hal yang bisa Anda lakukan adalah mengurangi kolom formulir yang tidak penting. Jika hipotesis Anda benar, maka seharusnya variabel B bisa memberikan Anda jumlah leads yang lebih banyak daripada variabel kontrol atau variabel A.

  1. Testing

Langkah selanjutnya adalah menjalankan tes tersebut. Dalam menjalankan tes, ada tiga metode yang bisa Anda gunakan. Metode pertama disebut sebagai Split URL Testing. Sesuai namanya, metode ini dilakukan dengan cara memisahkan URL dari variabel A dan B dan membandingkan beberapa metrik dari kedua variabel tersebut.

Metode kedua adalah metode MVT atau Multivariate Testing. Pada metode ini, ada lebih banyak variabel yang dites dalam satu halaman. Tidak berhenti di situ, kombinasi dari setiap variabel tersebut juga diuji. Misalnya dalam satu halaman terdapat dua elemen yang diubah, maka akan terdapat empat varian halaman yang perlu diuji.

Terakhir, terdapat metode Multipage Testing. Metode ini digunakan untuk Anda yang lebih ingin mengetes journey pengunjung dalam melewati sales funnel. Dalam melaksanakan metode ini, Anda bisa melakukan Funnel Multipage Testing untuk mengetes dua sales funnel yang berbeda, atau Classic Multipage Testing untuk mengetes apakah penambahan atau pengurangan elemen dari variabel kontrol bisa mempengaruhi nilai konversi dari keseluruhan funnel.

Kembali ke contoh kasus mengenai pengisian formulir. Metode yang cocok untuk Anda pilih adalah Multipage Testing, lebih tepatnya Classic Multipage Testing. Dalam varian B, Anda bisa mengurangi jumlah kolom formulir yang perlu diisi oleh pengunjung saat akan mengunduh e-book yang dipublikasikan melalui website Anda. 

  1. Menganalisis hasil

Setelah melewati durasi yang ditentukan, Anda bisa menyelesaikan tes dan mulai menganalisis hasil dari tes tersebut. Jika variabel A dianggap lebih memenuhi goals sesuai metrik yang ditentukan, artinya Anda tidak perlu melakukan perubahan pada website Anda. Namun jika ternyata variabel B memiliki hasil yang lebih baik, maka Anda bisa mengubah website secara permanen sesuai dengan variabel B.

Misalnya jika pada testing formulir tadi, ditemukan bahwa lebih banyak leads datang dari halaman dengan jumlah kolom formulir yang lebih sedikit. Artinya, hipotesis Anda benar dan perubahan tersebut perlu segera diaplikasikan secara permanen pada website Anda.

A/B Testing, Perlu Dilakukan atau Tidak?

Meskipun terlihat penting, ternyata Hubspot mencatat bahwa hanya 17% marketer yang menggunakan A/B Testing untuk meningkatkan conversion rate bisnis mereka. Jadi, metode ini mungkin bukan metode favorit para digital marketer. Tetapi, bukan berarti bisnis Anda tidak bisa mendapatkan keuntungan dengan mengaplikasikan metode ini. Ada banyak manfaat yang bisa Anda dapatkan dengan menerapkan A/B Testing pada website Anda.

Misalnya, Anda bisa menyelesaikan pain points atau masalah dari pengunjung yang membuat mereka menghentikan journey-nya. Untuk mencari tahu masalah mereka, gunakan saja bantuan tools yang dapat menganalisis perilaku pengunjung di website. Kemudian, Anda hanya perlu melakukan A/B testing website secara minor mengenai komponen yang dipermasalahkan, entah itu berupa desain layout, copy, atau tombol CTA.

Selain itu, membuat modifikasi secara minor pada saat testing website dapat menghilangkan potensi turunnya conversion rate. Potensi itu sendiri bisa muncul karena perubahan website secara besar-besaran bisa membuat pengunjung langganan kebingungan.

Jadi, Anda sudah paham apa itu A/B testing, kan? Nah, jika Anda benar-benar sudah mengerti apa itu A/B testing, seharusnya Anda bisa menjawab apakah bisnis Anda perlu menerapkan strategi tersebut atau tidak.

Writer Profile
  • Naufal Shabri

    Post graduate at UGM. Movie enthusiast dan anak gaul Surabaya

Share This
Comment

Leave a Reply