Setelah mempelajari definisi dan strategi growth hacking pada dua konten sebelumnya, kali ini kita akan membahas berbagai case study growth hacking dalam marketing yang menarik. Apabila di luar negeri ada Paypal yang berhasil menerapkan strategi growth hacking untuk meningkatkan bisnis mereka, bagaimana dengan brand lokal Indonesia? Bisakah perusahaan Indonesia menerapkan prinsip growth hacking marketing juga?

Untuk menjawab pertanyaan ini, Adhika Dwi Pramudita selaku Managing Director Penulis.ID telah mewawancarai Nur Anasta Rahmat, Founder & CEO WeAreGroup. Beliau telah berpengalaman membantu banyak klien menerapkan strategi growth hacking. Ini adalah bagian ketiga sekaligus terakhir dari rangkaian wawancara mengenai growth hacking marketing.

(Adhika) Apakah mas Anas ada case study perusahaan yang masih startup yang resourcenya masih limited? Kalau kita bicara Gojek atau Tokopedia kan mereka budgetnya unlimited.

(Nur Anasta Rahmat) Ada, dan casenya ini malah no budget. Waktu itu saya sempat menjadi VP di salah satu startup service provider di bidang perpajakan. Saya menemukan sesuatu yang anomali. Strategi SEO mereka berjalan dengan baik. Bahkan waktu itu tanpa paid ads sama sekali bisa tetap naik trafiknya secara signifikan, bagus sekali. 

Logikanya, kalau conversion rate bisa tetap, lalu traffik naik, harusnya user sign-up naik kan? Nah tapi kenyataannya trafiknya naik, user sign-up nya malah rata. Jadi kalau kita hitung conversion ratenya, itu pasti turun dan terus mengecil. Kita bingung, wah kenapa bisa seperti ini?

Dari sana saya mencari data dari tim customer success, tim sales, real audience di luar, kita bertanya kenapa mereka tidak mau subscribe di servis kita. Hasil pencarian data ini mengejutkan. Pertama, banyak yang datang ke website kita berpikir bahwa kita adalah situs media hukum online, bukan service provider. Kedua, yang sudah tahu ini service provider, mereka mengira menggunakan produk kami itu susah. Karena mereka membayangkan, versi asli dari pemerintah saja sudah bikin orang kesulitan, bagaimana dari service provider lain? Terakhir, mereka takut harganya mahal.

Akhirnya ide yang kita tes adalah kita buat konten artikel yang menjawab tiga masalah user tadi. Fokusnya kepada awareness, consideration, dan decision. Awareness di sini untuk memberi tahu bahwa kita adalah service provider, bukan media, jadi silahkan dicoba aplikasinya. Kita juga pasang banner besar di tengah konten kita, untuk kita arahkan ke produk kita. Sempat ditentang oleh tim konten karena takut membuat visitor tidak nyaman, namun saya ingatkan bahwa kita ini membuat konten, endingnya harus ada conversion ke produk, bukan hanya menjadi pembaca.

Berikutnya di consideration, kita menginfokan kalau user menggunakan service kita, dari hitung, setor, lapor, semuanya cukup dari laptop kita, tidak perlu datang ke kantor pajak, bayar ke bank, balik ke kantor pajak, baru balik kantor, buang waktu sekali. Dengan menggunakan produk kami, user bisa menyelesaikan semua dari layar laptop, bisa sambil jalan-jalan kalau mau.

Terakhir, kita juga memberi jawaban untuk mereka yang berpikir kita mahal. Kita gratis untuk hitung dan lapor, kalau setor baru ada fee-nya. Tapi kalau hanya untuk hitung dan lapor itu full gratis untuk dipakai. 

Setelah kita melakukan itu semua, dalam waktu satu bulan, user kita meningkat 297%, hampir tiga kali lipat. 

Wow hasilnya ekstrem sekali. Padahal growth hacking marketing dengan hanya edukasi konten ya untuk menyelesaikan tiga friction tersebut?

Yes, dengan education dan message. Kalau kita bicara conversion, itu kan desire minus friction kan. Nah frictionnya tadi kan besar sekali, jadi meskipun ada desire bisa tidak jalan. Fokus kita untuk menghilangkan friction tersebut melalui message tadi.

Contoh banner yang kita pakai itu mencolok sekali warnanya untuk mata, menarik perhatian user. But then it works really well untuk mengkomunikasikan dan menghilangkan friction tadi.

Kita sebenarnya pernah melakukan beberapa testing dalam aplikasinya, membuat beberapa perubahan. Ada impact tapi tidak terlalu besar. Justru pembuatan artikel dan banner dengan message kuat ini impactnya sangat besar. Message-nya kita selipkan dengan halus. Misal di sebuah artikel, di ending artikelnya ada kalimat seperti, “… dimana ini bisa kalian selesaikan dengan fitur berikut”. Nah orang jadi penasaran loh kok ada fitur. Mereka klik, lalu akhirnya mencoba produk kita. Jadi kita soft selling melalui artikel dengan cara menjelaskan fitur yang bisa membantu masalah mereka.

Berarti growth hacking sendiri aslinya tidak harus complicated ya, bisa saja sederhana caranya selama memang bisa mengatasi frictionnya?

Ya, growth hacking marketing kita harus tahu problemnya apa, kita lakukan analisa, lalu testing. Contoh tadi itu awalnya kita hanya mengharapkan kenaikan sekitar 20%. Ternyata hampir 3x lipat.

Tadi sempat disebut kalau mengumpulkan datanya melalui interview user. Nah butuh interview berapa banyak user untuk dapat data yang baik?

Growth hacking selalu bicara soal user, user, dan user. Kita butuh minimal 200 data. Kita bisa ambil data dari tim sales, customer success, mereka kan ngobrol dengan user kita tiap hari. Kita cari tahu problem user dari data mereka. Datanya harus selalu disimpan dan dicatat setiap dapat feedback dari user. Selain itu, kita juga bertanya ke beberapa orang yang baru saja melihat web kita. 

Untuk perusahaan baru, misal belum ada user sama sekali, tetap harus pakai data. Misal kita juga bisa dapat data dari market research. Kalau tidak pakai data sama sekali, namanya bukan growth hacking tapi tebak-tebakan.

Menarik sekali. Apakah ada case study growth hacking marketing lagi, yang menghadapi masalah beda dengan yang tadi? Dan solusinya bagaimana?

Ada salah satu klien yang bergerak di bidang insurance technology. Revenue mereka sulit naik, karena yang beli polis tidak terlalu banyak. Waktu kita analisa, ternyata mereka banyak sekali konten yang tidak sesuai jalur, karena tidak ada supervisi sebelumnya. Bayangkan ini perusahaan insurtech, tapi malah ada konten “jenis-jenis hantu yang ada di Indonesia”, lalu “khasiat batu merah delima”. Kan tidak nyambung sekali. Dan konyolnya malah trafiknya besar sekali dari konten tidak relevan itu. Konten seperti itu dari segi SEO juga jelek, karena jadi tidak ada topik tertentu yang kuat, mengingat kontennya random sekali. Kita bersihkan semua konten yang tidak relevan, kita buang.

Lalu dari sisi teknologi, juga ada banyak kesalahan terjadi, dari sisi user experience. Misal ada user datang, dia tidak bisa login. Ternyata setelah dicari problemnya, teknologi kita itu kalau orang mau login pas pertama daftar, malah dikirim password ke WhatsApp. Lah kalau orangnya buka dari laptop, lalu hp yang ada WhatsApp-nya tidak dipegang, dia bahkan tidak sadar kalau dikirimi password. Dan tidak ada pemberitahuan di aplikasinya misal “cek WhatsApp”, jadi ya user bingung sekali.

Kita dapat data friction tersebut dari orang-orang yang chatting dan komplain, banyak yang bertanya cara login bagaimana. Banyak sekali yang kebingungan kok tiba-tiba diminta masukin password padahal belum pernah setting password. Jadi flow new user experience-nya ini terbalik. Dia bukan set password, malah auto-generate dan dikirim via WhatsApp untuk dia masukin ke webnya, sebelum dia bisa ubah password. Flow-nya terbalik sekali, sangat membingungkan. Akhirnya banyak yang mental, tidak jadi user.

Perbaikannya besar, untuk memperbaiki flow sign-up butuh waktu beberapa bulan. Tapi setelah kita lakukan perbaikan masalah user flow tadi, trafiknya meningkat 3x lipat dan growthnya juga meningkat beberapa kali lipat.

Pertanyaan terakhir, tadi mas anas sempat mention paling susah kalau CEO-nya ikut campur. Apa ada tips agar growth hacker bisa meyakinkan bos mereka untuk mencoba growth hacking ini?

Kalau CEO-nya memaksa terlibat, kita harus meminta komitmen dia, misal kalau ada keputusan yang harus diambil karena dia memaksa dan tidak berdasarkan data dan analisa, lalu hasilnya nanti jelek, maka yang bertanggung jawab dia, bukan kita. Sebagai bos, decision maker, mereka punya otoritas dan power untuk memaksakan semua yang mereka mau, meskipun bertentangan dengan data. 

Ada bos yang tidak peduli sama sekali dengan data. Kalau begitu, jangan ditawarin growth hacking, sia-sia nanti, malah capek sendiri. Kita sudah analisa data, melakukan yang terbaik, tapi malah dihajar oleh kakunya owner. Bagaimana cara mengubahnya? Ya kalau sudah watak ya susah. Kecuali kalau di atas dia masih ada decision maker yang lebih penting, misal Board of Directors. Kita bisa coba untuk meminta tolong meyakinkan bos kita untuk minggir dulu agar growth hacking bisa dieksekusi.

———————————

Dalam tiga bagian wawancara growth hacking marketing ini kita bisa belajar bahwa untuk bisa menikmati hasil yang baik, kita harus mengutamakan user. Rajin mengumpulkan data user bisa menjadi langkah pertama yang baik dalam memulai usaha growth hacking. Berikutnya, dalam setiap pengambilan keputusan, harus berdasarkan data, jangan berdasarkan feeling.

Part 1: Apa Itu Growth Hacking dan Kenapa Bisa Jadi Populer?

Part 2: Strategi Dasar Growth Hacking Untuk Marketing

Part 3: Case Study Growth Hacking Untuk Marketing

Writer Profile
Share This
Comment