Growth hacking telah menjadi salah satu metode yang sering dipakai dalam berbagai elemen bisnis, termasuk marketing. Pertumbuhan bisnis yang pesat, seperti Paypal yang berhasil meningkatkan revenuenya berkat growth hacking, sudah tentu menjadi idaman semua marketer. Kita semua ingin tahu apa strategi growth hacking yang jitu dan bisa kita coba.

Tim anakmarketing.com telah membuat wawancara eksklusif dengan Nur Anasta Rahmat, Founder & CEO WeAreGroup, ahli growth hacking di Indonesia. Wawancara ini dipandu oleh Adhika Dwi Pramudita, Managing Director Penulis.ID. Minggu lalu, kita telah membahas mengenai apa itu growth hacking dan kenapa metode tersebut penting. Kali ini, wawancara akan fokus pada strategi dasar growth hacking untuk marketing.

Diskusi Seru Mengenai Strategi Growth Hacking Marketing

(Adhika) Kalau kita membahas strategi growth hacking dasar yang berkaitan dengan marketing, step-step pertamanya harus gimana untuk bisa mulai mas?

(Nur Anasta Rahmat) Seluruh aktivitas growth hacking, di luar membentuk tim, itu harus dimulai dengan menemukan data dulu. Kita harus mengacu pada data internal dan eksternal, atau bahkan kalau diperlukan juga bisa menggunakan market research atau bisa juga survey, harus kita olah untuk mendapatkan insight. Nah dari insight itu kita rancang beberapa ide-ide untuk kita coba. 

Jadi kalau pernah dengar istilah ICE, dari ide-ide tersebut kita analisa dengan metode ICE. Kita harus menghitung seberapa besar impact, confidence, dan easiness-nya seperti apa. Dari analisa itu kita tentukan mana ide yang akan kita eksekusi.

Setelah kita eksekusi ide, dari hasil eksekusinya kita analisa lagi. Mana yang cocok mana yang tidak. Kalau kita menemukan yang cocok, kita kembangkan dengan cara melakukan eksperimen-eksperimen lain yang bisa menguji lebih lanjut. Jadi cycle-nya ini selalu berputar.

Ini menarik sekali. Berarti cara kerjanya dari data yang ada, baru kita akan buat hipotesanya atau idenya. Lalu kita gunakan metode ICE agar kita tahu mana yang harus kita eksekusi terlebih dulu. Karena semua perusahaan resourcesnya terbatas, betul ya mas?

Betul sekali seperti itu.

Nah kalau kita ternyata banyak ide, kita harus eksekusi mana dulu?

Waktu kita melakukan perumusan ide, sebenarnya ada beberapa rules. Pertama objektifnya harus jelas, jadi tujuan idenya tidak boleh absurd misal seperti ingin meningkatkan market presence kita yang susah sekali dihitung. Contoh objektif yang jelas misal kita ingin meningkatkan growth subscriber sampai lebih dari 30% dari quarter sebelumnya. Itu contoh objektifnya measurable, ada angkanya yang bisa diukur. 

Selain itu, harus ada jangka waktunya juga, misal dalam dua bulan kedepan kita bisa meningkatkan subscriber sampai x persen misal. Lalu anggap hasilnya nanti angka y. Hasil akhir harus angkanya realistis dan dekat dengan target awal kita. Kalau misal melenceng eh hanya 10% hasilnya, bisa saja kita anggap idenya ini gagal dieksekusi. 

Tapi ini tergantung growth leadnya seperti apa. Kalau lead-nya ternyata orangnya mudah puas, bahwa 10% tadi sudah oke, ya sudah berarti bisa saja dianggap berhasil. Karena ya growth lead ini ada yang gampang puas, ada yang tidak gampang puas, ada yang perfeksionis, ada yang tidak, macam-macam sekali.

Rules berikutnya, pemilihan ide tadi harus dilakukan berdasarkan tiga hal, yaitu metode ICE tadi. Pertama adalah impact, Kita harus tahu ketika mau mengeksekusi ide ini, itu kira-kira kita yakin impactnya akan sebesar apa. Itu ada tabelnya untuk bisa kita hitung. Berikutnya confident, kita yakin enggak untuk bisa mengerjakan ini. Misal contoh “wah aku punya ide untuk meng-endorse Cristiano Ronaldo”. Sudah tentu impactnya besar, tapi confident enggak Ronaldo-nya mau. 

Terakhir dalam ICE, itu ease, mudah tidak untuk dikerjakan. Masih contoh kasus endorse Ronaldo, kalau ada duit yaa mudah tapi kalau tidak ada duit kan ya susah. Dari tiga hal tersebut (impact, confident, ease) ada sistem skoringnya di tabel. Lalu dari semua ide kita nilai dan kita lihat. Mana ide yang paling bagus skornya, ini kita ambil untuk kita eksekusi. 

Semakin besar perusahaan, misal seperti Gojek atau Tokopedia, duitnya tidak ada nomor serinya, nah mereka bisa melakukan beberapa eksperimen sekaligus. Tapi kalau perusahaannya kecil, mereka harus memilih idenya yakin sekali. Kita melakukan testing eksperimen pun skalanya kecil, menyesuaikan budgetnya. 

Idealnya, sebelum memulai budget kita sudah kita pecah, misal untuk filtering ide pertama dan ide kedua. Dari kedua ide tersebut kita bandingkan mana yang setelah eksperimen lebih besar impactnya. Lalu ide yang impactnya lebih besar tadi, baru bisa dimasukkan dalam strategi marketing secara umum. Jadi kalau bisa memvalidasi idenya jangan dibarengkan dengan marketing campaign tertentu, biar hasilnya lebih akurat.

Mantap, detail sekali strateginya. Kalau kita bicara tentang tantangan, maka tantangan utama yang akan dihadapi growth hacking selain resources dan budget?

Data. Pada saat data itu akurat, hasilnya semakin bagus. Kalau datanya dari awal sudah bias, dari data salah ya insight salah, dari insight salah, ide salah, otomatis strategi salah, eksekusi salah, hasil akhirnya ya salah. Jadi kita harus hati-hati dalam mengolah data seakurat mungkin. Resikonya besar sekali kalau pengolahan data kita jelek.

Berikutnya lebih berat lagi adalah kalau tidak ada data. Lah kita mau eksekusi berdasarkan apa? Ilmu kira-kira? Kan ya tidak bisa.

Ada beberapa calon klien, calon ya karena ga jadi klien endingnya. Waktu ngobrol, kita tanya, data dari tim sales apa pernah dikumpulkan? Ternyata ada, tapi datanya raw sekali, tidak bisa digunakan untuk analisa. Jadi ya susah sekali untuk dimulai growth hackingnya kalau datanya buruk.

Jadi pertama paling susah itu data. Berikutnya personel, atau manusianya, timnya. Growth hacking itu stressful activity. Tiap minggu harus meeting, harus terkontrol, harus on-time. Misal contohnya tim analis, harusnya menyelesaikan hari rabu, baru selesai hari jumat, maka tim lainnya otomatis mundur semua timelinenya, karena tidak bisa mulai eksekusi tanpa analisa tim data. Jadinya stress level bisa tinggi sekali kalau kita menentukan pekerjaan orang lain juga, otomatis bisa rawan marah-marah misalnya. Nah growth leadernya harus bisa menyatukan timnya.

Tantangan terberat berikutnya adalah CEO atau ownernya, atau direktur yang top level manajemen, mereka tidak boleh terlibat dalam proses growth hacking. Misal karyawannya sudah berbicara berdasarkan analisa data, tapi kalau pak bosnya sudah bilang “wah aku inginnya seperti ini, lebih bagus seperti ini, sudah kamu ikut keinginanku saja, kan kamu kerja buat aku,” nah itu ya sudah bubar timnya. Akhirnya mereka malah fokus “asal bapak senang”, tidak berdasarkan data lagi. 

Manusiawi sekali, mengingat mereka tidak ingin dipecat juga, jadi ya harus ikut bos. Jadi kalau saya rekap, challenge terbesar itu pertama data, berikutnya timnya sendiri, dan terakhir bosnya harus memberi jalan.

Berikutnya, growth hacking apa bisa dipakai di berbagai funnel marketing? Mulai dari awareness dan purchase dengan activity mereka sendiri-sendiri. Berarti bisa dioptimisasi dengan growth hacking?

Kalau kita bicara tentang growth hacking, funnel yang kita pakai itu AAARRR, atau disebut juga pirate metrics. Setiap funnel endingnya nanti referral. Jadi kalau growth hacking, yang dikejar utama bukan purchase, tapi referral. 

Kenapa referral yang jadi utama? Karena dalam prinsip growth hacking, referral itu jadi growth engine. Jadinya beda dengan funnel marketing. Kalau di marketing kan, referral kan ada di middle funnel, karena end goal-nya kan sales. Nah bedanya di situ. Dalam growth hacking malah dia paling bawah, revenue di atas malahan. Prosesnya orang pakai dulu sebagai user kita, lalu retention dimana orang akan beli lagi produk yang sama atau menggunakan produk kita yang lain, lalu referral dia akan menjadi brand advocate bagi perusahaan tersebut. 

Referral kita kejar sekali, karena dari sana bisa jadi growth engine, atau kadang kita sebut juga snowball effect. Semakin banyak semakin besar nanti efeknya. 

Ini seru ya mas. Untuk rekan-rekan yang belum familiar dengan AAARRR, funnel ini isinya awareness, acquisition, activation, retention, revenue, referral. Jadi dalam growth hacking, referral paling penting, karena growth datang dari dia. 

Yes, Betul sekali

—————

Video Wawancara Bagian Kedua Mengenai Growth Hacking

Itulah tadi strategi growth hacking dasar yang bisa kita coba di perusahaan kita sendiri. Selain mengikuti metode yang ada, salah satu yang paling penting adalah memastikan kita memiliki akses terhadap data yang diperlukan. Karena tanpa data yang ada, kita akan kesulitan untuk eksekusi strategi growth hacking ini.

Pada bagian wawancara berikutnya, kita akan membahas tentang beberapa case study growth hacking marketing yang sukses di Indonesia. Dari sana, kita bisa belajar bahwa strategi dasar ini sebenarnya kalau dieksekusi dengan baik, akan memberikan kita hasil yang memuaskan.

Part 1: Apa Itu Growth Hacking dan Kenapa Bisa Jadi Populer?

Part 2: Strategi Dasar Growth Hacking Untuk Marketing

Part 3: Case Study Growth Hacking Untuk Marketing

Writer Profile
Share This
Comment

Leave a Reply