Saat ini, content marketing menjadi salah satu hal yang wajib diterapkan oleh perusahaan, baik B2B maupun B2C. Hampir semua bisnis memiliki strategi kontennya sendiri, karena ingin membangun kredibilitas di mata publik. Secara umum, pemasaran lewat konten oleh B2B dan B2C memiliki banyak kesamaan.

Tapi, bukan berarti strategi keduanya bisa disamakan. Coba bayangkan viral marketing atau memasang iklan sandaran ojek online untuk pemasaran B2B, pasti kurang cocok, bukan? Tapi, adakah perbedaan spesifik antara keduanya? Yuk, simak perbedaannya di bawah ini!

Content marketing
Photo Credit: upklyak on Freepik

Perbedaan content marketing B2B dan B2C

  • Target audiens

Perbedaan paling mencolok dari content marketing B2B dengan B2C adalah target audiens. Target audiens dalam B2B adalah bisnis lain dengan values yang sama. Ikatan ini memungkinkan semua pihak yang terlibat memperoleh profit.

Contohnya hubungan B2B antara Samsung dan Apple. Perusahaan teknologi asal Korea Selatan tersebut merupakan supplier terbesar untuk produk-produk Apple. Dalam kesepakatan ini, Samsung menyediakan komponen untuk produk Apple. Di sini, keduanya memperoleh keuntungan dengan terus menghadirkan inovasi teknologi.   

Sementara itu, B2C memiliki cakupan target audiens yang lebih luas. Sehingga, konten yang dibuat perlu menyesuaikan sudut pandang setiap audiens. Misalnya, brand produk kemeja kerja dapat dipasarkan untuk orang yang sedang mencari pekerjaan sampai pemegang jabatan manajerial. Masih ada faktor identitas lainnya, seperti WFH atau WFO, tipe industri, dan lain-lain. Ini mengarahkan pembuat konten untuk memerhatikan segmen konsumen yang lebih lebar. 

  • Tujuan konten

Dari poin sebelumnya, diketahui bahwa hubungan B2B terjalin antara dua pihak yang memiliki rangkaian nilai serupa. Tujuan dari konten B2B adalah menunjukkan bahwa Anda peduli akan hal-hal yang sama dengan klien. Melalui content marketing, Anda dapat meyakinkan calon klien bahwa hubungan bisnis dapat terjalin dengan basis fokus yang sama.

Ketika membuat konten, perusahaan B2B mengupayakan thought leadership di benak audiens dengan tujuan agar bisnis dipandang sebagai ahli dalam bidangnya. Terciptanya thought leadership sangat membantu posisi bisnis dalam benak calon klien dalam proses pembelian, terutama pada tahap riset awal. Calon klien dapat langsung menyadari bahwa perusahaan Anda memahami apa yang menjadi fokus perhatian mereka, kemudian langsung menempatkan bisnis Anda pada top of mind di antara kompetitor.

Pada B2C, yang dipentingkan adalah bagaimana produk mampu membawa manfaat bagi pembeli. Kecenderungan ini membuat call to action (CTA) dalam konten B2C mengarahkan audiens untuk segera melakukan pembelian. 

Berbeda dibanding itu, CTA pada konten B2B biasanya meminta calon klien meninggalkan kontaknya, seperti alamat email dan nomor telepon. Selanjutnya, perusahaan sudah bisa melakukan effort penjualan kepada calon klien secara bertahap, misalnya dengan metode MQL (marketing qualified leads). Keputusan untuk melakukan pembelian kepada perusahaan B2B tidak dapat terjadi begitu saja, tapi memerlukan kepercayaan yang dapat dibangun secara bertahap, dimulai dari konten marketing.

  • Proses konversi ke pembelian

Keputusan untuk membeli dari brand B2C biasanya hanya melibatkan satu individu. Sehingga, proses hingga mencapai keputusan pembelian lebih sederhana. Ketika seseorang menaruh ketertarikan terhadap suatu produk, orang tersebut dapat membelinya tanpa harus melalui pertimbangan panjang.

Jika dibandingkan dengan B2B, pengambilan keputusan B2C juga lebih melibatkan emosi. Konsumen B2C ingin memperoleh atau melakukan sesuatu yang membuatnya senang. Ini yang menjadi alasan kunjungan ke pusat perbelanjaan akan menghabiskan banyak uang dibandingkan rencana sebelumnya. Ketika menemukan gerai bubble tea atau barang-barang perintilan hobi, seseorang mudah mengambil keputusan pembelian saat itu juga.

Sebaliknya, audiens B2B memerlukan pertimbangan lebih banyak orang sebelum melakukan transaksi. Tim klien perlu yakin bahwa keputusan pembelian ini dapat membuahkan ROI yang maksimal. Tidak jarang perusahaan melakukan upaya lebih untuk memperoleh klien. Misalnya, dapat menghubungi calon klien berulang kali untuk membangun kepercayaan dan menawarkan free trial.

  • Platform

Konten untuk B2B dan B2C bisa saja memakai platform yang sama. Tapi, setiap media memiliki karakteristiknya sendiri. Sebagian besar content marketing B2B dilakukan melalui LinkedIn, karena posisinya sebagai media sosial bersifat profesional. Anda perlu mengenal keseharian audiens untuk dapat menjangkau calon klien dengan tepat.

Bisnis B2C bisa meletakkan konten di berbagai platform, dari media sosial hingga sandaran iklan di ojek online. Dengan begitu, dapat diyakini calon pelanggan terus diingatkan atas brand tersebut dalam kesehariannya.

Namun, B2B memiliki pendekatan berbeda. Dengan tujuan meningkatkan kredibilitas, platform yang digunakan cenderung terbatas. Biasanya, marketing B2B fokus menggunakan website dan media sosial miliknya. Kadang-kadang bisa juga mengandalkan media eksternal, seperti blog lain yang memasukkan backlink ke website Anda serta melakukan usaha PR agar konten Anda bisa tayang di media terkenal.

Content marketing B2B semakin mirip B2C

Meskipun pemasaran via konten hingga kelangsungan bisnis B2B dan B2C berbeda, sebenarnya dinamika konten B2B bergeser menjadi semakin mirip dengan B2C

  • Storytelling

Salah satu strategi kuat B2C adalah storytelling, karena bisa menimbulkan memori yang menyenangkan dan membekas di benak konsumen. Sumber cerita dapat berupa pengalaman konsumen, bisa juga tentang produk dan brand.

Nike merupakan brand yang setia menggunakan storytelling marketing. Brand yang dikenal menyediakan peralatan olahraga tersebut menyampaikan cerita dengan ide bahwa konsumennya bisa menggapai cita-cita, “Just Do It”.

B2B mengikuti jejak tersebut dengan membagikan cerita seputar perusahaannya sendiri atau cerita klien. Dapat dibagikan bagaimana perusahaan didirikan, bagaimana perusahaan mampu bertahan menghadapi pandemi, cara perusahaan memerhatikan karyawan, dan topik lainnya. Tujuannya supaya audiens merasa lebih akrab dengan brand Anda.

  • Influencer marketing

Kemungkinan Anda telah akrab dengan influencer marketing. Dikenal juga sebagai KOL marketing, teknik ini biasanya memerlukan modal untuk mengajak public figure terlibat dalam aktivitas pemasaran. Lihat saja Pantene dengan Maudy Ayunda, Tokopedia dengan BTS, dan semacamnya. Tapi, penggunaan influencer kini tidak hanya dilaksanakan oleh perusahaan B2C. B2B juga bisa menerapkan influencer marketing, apalagi untuk meningkatkan brand awareness.

Tidak melulu harus mengalokasikan budget besar, influencer marketing dalam B2B bisa melibatkan internal perusahaan. Maksimalkan sumber daya yang ada dengan mengajak karyawan memasarkan brand Anda. 

Contoh eksekusi influencer marketing oleh B2B adalah Stephanie Regina (@halohanie), founder dan CEO dari Haloka Group. Sosok yang biasa dipanggil Hanie ini aktif mengunggah konten bermanfaat soal branding melalui media sosial pribadinya. Mendirikan branding agency, Haloka Talks, Hanie membuat audiens percaya akan expertise dari agency miliknya.

Di luar konten pemasaran, model bisnis B2B juga banyak yang telah melebur dengan B2C. Misalnya, penjual masker dapat memasarkan produknya untuk kebutuhan sehari-hari masyarakat. Tapi, penjual yang sama bisa juga memperoleh kontrak jual beli untuk memasok masker ke rumah sakit. 

Apakah ada batasan antara B2B dan B2C?

Mengetahui perbedaan content marketing B2B vs B2C dapat meningkatkan kualitas strategi bisnis Anda. Jika dilihat secara garis besar, keduanya memiliki banyak kesamaan. Bahkan, perbedaan yang ada menjadi semakin sedikit. Metode yang digunakan dan platform yang dipakai kadang-kadang sama saja.

Apa perbedaan signifikan pemasaran konten oleh B2B vs B2C? Perbedaan dapat ditemukan pada premis awal, di mana konseptualisasi konten untuk B2B berangkat dari asumsi bahwa prioritas konsumen bisnis ada pada nilai, layanan atau produk, dan kepercayaan. Sementara itu, pelanggan B2C mementingkan harga dan kepuasan emosional (emotional satisfaction) dari apa yang dibelinya.

Pada akhirnya, strategi konten kembali pada kreativitas brand. Batasan dalam dunia marketing semakin kabur, karena orang-orang pemasaran semakin kreatif. Jangan takut inovasikan content marketing B2B terbaik sesuai brand Anda!

Writer Profile
  • Kaylina Ivani

    Marketing enthusiast, penikmat kopi dan senja, penikmat hot chocolate

Share This
Comment

Leave a Reply